Kamis, 30 Januari 2014

Kesaksian Seni Rupa Lanjar Jiwo



 
Pameran DIPONEGORO ”
Solo Art Exhibition Lanjar Jiwo


Kesaksian Seni Rupa Lanjar Jiwo
Oleh :  A. Barata

Tembi Rumah Budaya


Ada beragam persoalan sosial yang diangkat perupa sebagai ekspresi kegelisahan dan keprihatinannya. Masalah yang diangkat biasanya perilaku buruk elite politik (korupsi, kekerasan, dll), kemiskinan, atau kerusakan lingkungan. Karya Lanjar Jiwo pada pameran ini agak berbeda, meski pada akhirnya terkait dengan persoalan-persoalan di atas,
Lanjar memilih persoalan dominasi asing, yang biasa diistilahkan dengan (neo)imperialisme. Isu yang sering dikaitkan dengan peranan sistemik WTO, IMF, World Bank, dan AS. Implisit, jika tidak salah tangkap, Lanjar menempatkan mereka sebagai ancaman, dan menuding mereka sebagai salah satu biang kerok keterpurukan negeri ini. Karenanya karya Lanjar ini lebih kental abstraksinya atas realita saat ini.
Pada kenyataannya, WTO memang lebih merupakan alat negara maju yang membela kepentingan mereka dan merugikan negara-negara Dunia Ketiga. Protes terhadap pertemuan WTO di Bali Desember yang lalu, misalnya, sangat beralasan. Begitu pula IMF yang berperan pada jaman Orde Baru, terutama pasca krisis moneter, dengan resepnya yang kian mengikis kedaulatan bangsa ini, terutama dalam keberdayaan ekonomi. Tak ketinggalan World Bank dengan proyek utangnya yang kian membebani baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan AS diduga memainkan peran utama di balik semua lembaga ini, selain dengan Washington Consensus-nya.
Dalam beberapa karyanya Lanjar menempatkan secara bipolar tidak berimbangnya kekuatan nasional dan kekuatan asing. Dollar AS menjadi ikon karya Lanjar yang muncul dimana-dimana, termasuk supremasi dollar AS yang menghajar rupiah hingga terkulai.
Kritik Lanjar meski lugas tapi tidak disampaikan dengan berteriak, heroik dan dramatik. Cukup dengan close up badut-badut, yang tertawa, cengengesan maupun “melet”. Mengejek tanpa kekerasan. Ekspresi dan simbol yang memang lebih kena jika melihat karakter neoimperialisme yang lebih “halus” ketimbang imperialisme jaman dulu. Badut domestik pun ditampilkan --boneka yang membisu, bergelimang dollar-- yang agaknya merupakan para komprador. Secara konseptual Lanjar menunjukkan realita tentang kekalahan bangsa ini
Terkait dengan Diponegoro, saya kira adalah kerinduan Lanjar pada semangat juang untuk mempertahankan kedaulatan dan kepemilikan atas penjarahan dan penjajahan asing. Perang Diponegoro yang dimulai dari kawasan kecil Tegalrejo lantas meluas dan berkepanjangan serta memperoleh dukungan yang terus membengkak menjadi Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun. Bagaimana jika Diponegoro tidak ditahan oleh Belanda secara licik pada perundingan Maret 1930? Mungkin pada akhirnya Diponegoro tetap kalah. Tapi setidaknya kita berhak optimis. Diponegoro bukan raja dan tidak didukung raja tapi berhasil membangun kekuatan rakyat. Atau di belahan dunia lain, kita bisa melihat contoh keberhasilan Presiden Venezuela Hugo Chavez dalam upaya membangun kekuatan ekonomi domestik yang lebih mandiri, termasuk kebijakan migasnya.
Selanjutnya, kembali ke karya seni rupa Lanjar Jiwo, bisa dikutip pesan Amrus Natalsya kepada Semsar Siahaan, “Segi artistik akan terproses sambil jalan. Di Bumi Tarung dulu, dari segi artistik juga berproses secara kreatif yang memakan waktu berjangka panjang. Dalam menerapkan garis “Dua Tinggi” (tinggi mutu tinggi ideologi dan tinggi mutu artistik) menemui kesulitan yang tidak gampang diatasi. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah terus menerus melakukan pencarian (eksplorasi) lewat proses kreatif itu sendiri…”
Patut dipuji pilihan Lanjar di luar mainstream jagad seni rupa. Jujur pada rasa dan pikirannya. Pada perkembangannya, mungkin Lanjar antara lain dapat memperluas elemen-elemen pada tema yang diangkat sehingga lebih komprehensif. Begitu pula memperkaya tampilannya untuk meminimalisir kemonotonan. Salam apresiasi bagi Lanjar Jiwo, selamat berpameran!







Tidak ada komentar:

Posting Komentar