“
Pameran DIPONEGORO ”
Solo
Art Exhibition Lanjar Jiwo
Kesaksian Seni Rupa Lanjar Jiwo
Oleh : A. Barata
Tembi Rumah Budaya
Ada beragam
persoalan sosial yang diangkat perupa sebagai ekspresi kegelisahan
dan keprihatinannya. Masalah yang diangkat biasanya perilaku buruk
elite politik (korupsi, kekerasan, dll), kemiskinan, atau kerusakan
lingkungan. Karya Lanjar Jiwo pada pameran ini agak berbeda, meski
pada akhirnya terkait dengan persoalan-persoalan di atas,
Lanjar memilih
persoalan dominasi asing, yang biasa diistilahkan dengan
(neo)imperialisme. Isu yang sering dikaitkan dengan peranan sistemik
WTO, IMF, World Bank, dan AS. Implisit, jika tidak salah tangkap,
Lanjar menempatkan mereka sebagai ancaman, dan menuding mereka
sebagai salah satu biang kerok keterpurukan negeri ini. Karenanya
karya Lanjar ini lebih kental abstraksinya atas realita saat ini.
Pada
kenyataannya, WTO memang lebih merupakan alat negara maju yang
membela kepentingan mereka dan merugikan negara-negara Dunia Ketiga.
Protes terhadap pertemuan WTO di Bali Desember yang lalu, misalnya,
sangat beralasan. Begitu pula IMF yang berperan pada jaman Orde Baru,
terutama pasca krisis moneter, dengan resepnya yang kian mengikis
kedaulatan bangsa ini, terutama dalam keberdayaan ekonomi. Tak
ketinggalan World Bank dengan proyek utangnya yang kian membebani
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan AS diduga
memainkan peran utama di balik semua lembaga ini, selain dengan
Washington Consensus-nya.
Dalam beberapa
karyanya Lanjar menempatkan secara bipolar tidak berimbangnya
kekuatan nasional dan kekuatan asing. Dollar AS menjadi ikon karya
Lanjar yang muncul dimana-dimana, termasuk supremasi dollar AS yang
menghajar rupiah hingga terkulai.
Kritik Lanjar
meski lugas tapi tidak disampaikan dengan berteriak, heroik dan
dramatik. Cukup dengan close up badut-badut, yang tertawa,
cengengesan maupun “melet”. Mengejek tanpa kekerasan. Ekspresi
dan simbol yang memang lebih kena jika melihat karakter
neoimperialisme yang lebih “halus” ketimbang imperialisme jaman
dulu. Badut domestik pun ditampilkan --boneka yang membisu,
bergelimang dollar-- yang agaknya merupakan para komprador. Secara
konseptual Lanjar menunjukkan realita tentang kekalahan bangsa ini
Terkait dengan
Diponegoro, saya kira adalah kerinduan Lanjar pada semangat juang
untuk mempertahankan kedaulatan dan kepemilikan atas penjarahan dan
penjajahan asing. Perang Diponegoro yang dimulai dari kawasan kecil
Tegalrejo lantas meluas dan berkepanjangan serta memperoleh dukungan
yang terus membengkak menjadi Perang Jawa yang berlangsung selama
lima tahun. Bagaimana jika Diponegoro tidak ditahan oleh Belanda
secara licik pada perundingan Maret 1930? Mungkin pada akhirnya
Diponegoro tetap kalah. Tapi setidaknya kita berhak optimis.
Diponegoro bukan raja dan tidak didukung raja tapi berhasil membangun
kekuatan rakyat. Atau di belahan dunia lain, kita bisa melihat contoh
keberhasilan Presiden Venezuela Hugo Chavez dalam upaya membangun
kekuatan ekonomi domestik yang lebih mandiri, termasuk kebijakan
migasnya.
Selanjutnya,
kembali ke karya seni rupa Lanjar Jiwo, bisa dikutip
pesan Amrus Natalsya kepada Semsar Siahaan, “Segi artistik akan
terproses sambil jalan. Di Bumi Tarung dulu, dari segi artistik juga
berproses secara kreatif yang memakan waktu berjangka panjang. Dalam
menerapkan garis “Dua Tinggi” (tinggi mutu tinggi ideologi dan
tinggi mutu artistik) menemui kesulitan yang tidak gampang diatasi.
Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah terus menerus melakukan
pencarian (eksplorasi) lewat proses kreatif itu sendiri…”
Patut dipuji
pilihan Lanjar di luar mainstream jagad seni rupa. Jujur pada rasa
dan pikirannya. Pada perkembangannya, mungkin Lanjar antara lain
dapat memperluas elemen-elemen pada tema yang diangkat sehingga lebih
komprehensif. Begitu pula memperkaya tampilannya untuk meminimalisir
kemonotonan. Salam apresiasi bagi Lanjar Jiwo, selamat berpameran!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar